Baru-baru ini, Sulawesi Selatan—khususnya di Makassar dan sekitarnya—rameeee betul bandara dan asrama haji pas musim keberangkatan jamaah. Bukan cuma calon haji yang datang, tapi juga pengantar yang jumlahnya bisa bikin macet satu kota. Ada yang datang sekeluarga, satu kampung, bahkan ada yang bawa bekal kayak mau piknik. Dan ternyata, salah satu alasan kenapa pengantar ini membludak itu karena… katanya, “kalau sering ka’ ngantar haji, InsyaAllah pasti ka’ dapat giliran berangkat juga.”
Ehhh? Serius mi?
Fenomena ini lucu-lucu sedih juga. Lucunya, karena semangat orang-orang kita itu luar biasa. Bayangkan, demi harapan bisa naik haji, ada yang tiap tahun ngantar, padahal itu yang berangkat bukan keluarga inti—tetangga, sepupu jauh, bahkan teman kerja yang jarang ketemu. Tapi sedih juga, karena ternyata masih banyak yang berpikir bahwa ngantar haji itu semacam investasi spiritual yang akan otomatis berbuah panggilan ke Baitullah. Padahal antriannya panjang betul, ada yang daftar sekarang, berangkatnya paling cepat 20 tahun lagi.

Nah, mari kita luruskan sedikit, tapi tetap dengan hati ringan, ya. Ngantar haji itu memang mulia. Kita bisa bantu orang tua, saudara, atau teman untuk memulai perjalanan spiritual mereka. Kita bisa ikut mendoakan, mengantar dengan cinta dan haru. Tapi janganki’ berharap sistem spiritual itu kayak sistem poin di toko swalayan. Ngantar lima kali, dapat bonus satu tiket haji. Tidak begitu, sayang.
Tapi bukan berarti semangat ta’ itu salah. Justru dari semangat itumi kita lihat betapa besar keinginan orang-orang Bugis-Makassar untuk menyentuh tanah suci. Dan itu luar biasa. Cuma, daripada sibuk antar tiap tahun dan berharap ‘jatah langit’, mending tabung, kerja jujur, dan berdoa sungguh-sungguh. Karena yang bikin kita sampai di sana bukan banyaknya ngantar, tapi banyaknya ikhtiar dan tulusnya niat.
Dan satu lagi, janganki bikin macet bandara cuma karena ikut-ikutan. Kalau mau antar, antar yang bermanfaat—bantu angkat koper, bantu doa, bantu tenangkan yang nangis karena ditinggal suami/istri. Itu baru berkah!
Jadi intinya, semangat tetap dijaga, tapi arahkan ke hal yang betul. Siapa tahu, tanpa perlu ngantar puluhan kali, tahun depan giliran kita mi yang dipanggil. Aamiin!”
Penulis: H. Afifuddin Harisah