Dalam kitab Al-Futuhat al-Madaniyyah fii al-Syu’ab al-Imaniyyah, disebutkan satu pokok penting dalam struktur ibadah: ibadah terbagi menjadi dua jenis—fardhu dan naflu. Fardhu adalah ibadah yang bersifat wajib, sementara naflu adalah ibadah yang bersifat sunnah atau pilihan. Namun, pembagian ini bukan sekadar masalah hukum fikih. Ia mengandung rahasia besar dalam hubungan antara manusia dan Tuhannya.
Ibadah fardhu adalah hak Allah yang dituntut dari hamba-Nya. Ia adalah bentuk keharusan yang mengikat, semacam perjanjian dasar antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Menjalankan fardhu berarti mengakui keberadaan dan kekuasaan Allah, dan menunaikan bagian yang memang wajib bagi manusia sebagai makhluk yang menerima karunia wujud dan kehidupan.
Sementara itu, ibadah naflu—meskipun tidak wajib—memiliki posisi strategis dalam membentuk kualitas kehambaan. Ia adalah amal tambahan (zaidah) yang menyempurnakan amal utama. Dalam pandangan sufistik, ini dimisalkan dengan hubungan antara Allah dan makhluk. Allah adalah ashl (pokok), Wujud yang mutlak. Manusia adalah zaidah, makhluk yang diciptakan sebagai tambahan dari wujud-Nya, bukan bagian dari Diri-Nya, tapi tercipta karena kehendak dan kasih-Nya.
Begitu pula naflu: ia adalah tambahan dari yang wajib. Tapi tambahan ini bukan tidak penting. Justru karena ia bukan tuntutan, pelaksanaannya menjadi bukti kesadaran dan kerendahan hati seorang hamba. Ketika seseorang melaksanakan naflu, ia sedang menegaskan bahwa ia tidak hanya ingin menjalankan agama secara minimal, tapi ingin sungguh-sungguh hadir sebagai hamba yang tunduk sepenuh hati.
Allah mengambil amal fardhu sebagai hak-Nya, karena itu bagian dari keadilan ilahiah. Namun Allah mengembalikan amal naflu kepada manusia sebagai hadiah alias bonus, sebagai bekal untuk keselamatan di akhirat. Artinya, fardhu adalah jalan keterikatan, sementara naflu adalah ruang keluasan.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman: “Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan terus menerus hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal-amal sunnah hingga Aku mencintainya.”Hadis ini menegaskan bahwa kedekatan istimewa itu diraih bukan hanya melalui fardhu, tapi dengan memperbanyak amal naflu. Maka siapa yang ingin mencapai maqam kehambaan yang lebih tinggi, jangan puas hanya dengan menunaikan yang wajib. Ibadah naflu adalah sarana untuk membangun keintiman spiritual dengan Tuhan—ia bukan sekadar tambahan, tapi jalan pembuktian bahwa kehambaan kita bukan karena keterpaksaan, melainkan karena kesadaran yang hidup.